Rabu, 23 Agustus 2017

Surat Kepada Masa Lalu (I)

Untukmu, kawanku di masa lalu.


Pikiranku bertanya-tanya, apa kabarmu saat ini?

Aku harap engkau baik-baik saja dan selalu berada dalam lindungan-Nya.
Walaupun kita sudah sangat lama tak saling berinteraksi, bahkan sejak kita masih di sekolah yang sama, aku selalu saja ingin tau keberadaanmu, kesibukanmu, dan semua tentangmu.

Semua ini bukan lagi tentang perasaan yang pernah kupendam padamu. Yang itu sudah berakhir.
Semua ini hanya tentang keunikan dirimu yang apa adanya, yang baru aku sadari sekarang dan aku merindukan hal itu.

Sebelum bertemu denganmu, aku tidak pernah bisa menjadi diriku sendiri ketika aku sedang bersama teman-temanku atau bahkan dengan orang-orang yang kusebut sahabat. Aku mengurung diriku sendiri dan menjadi orang lain ketika aku harus bergaul di dunia luar. Aku tidak pernah yakin untuk benar-benar menunjukkan emosiku saat aku sedang sedih, kecewa, ataupun bahagia. Mereka akan menganggap aku aneh dan tidak akan tahan denganku jika aku menunjukkan semua emosiku secara gamblang. Aku hanya bisa menahan diri dan menerima apa adanya dunia kelam di sekitarku. Aku pikir semua orang akan seperti itu hingga akhirnya aku terbiasa.

Hingga akhirnya, Tuhan mempertemukan kita.

Saat itu kita masih bisa terbilang kanak-kanak. Masih egois. Masih labil. Belum punya pendirian sama sekali. Yang kita pikirkan hanyalah belajar dan bermain. Belum mampu untuk mengerti apa yang dirasakan orang lain.

Aku pikir kamu akan berakhir menjadi sama dengan orang-orang yang sudah kutemui sebelumnya. Aku bahkan, saat itu, sudah sangat yakin bahwa dirimu juga pasti seperti itu. Aku pun bertindak seperti biasanya. "Walaupun baru kenal, ujung-ujungnya pasti dia sama dengan yang lain. Apalagi laki-laki...", benakku saat guru bahasa Inggris menyuruh kita memperkenalkan diri kita satu per satu di depan kelas. Aku, saat itu, sudah terbiasa berteman dengan banyak laki-laki yang sifatnya sangat cuek dan terkesan brengsek karena tidak ingin berusaha untuk mengerti orang lain. Mereka hanya bisa mengejek kekurangan orang lain kemudian menganggap bahwa orang yang diejek akan tetap baik-baik saja karena niat  mereka hanya ingin bercanda. B E R C A N D A. Akupun berpikir kamu suatu saat nanti akan melakukan hal yang sama kepadaku, kepada teman-teman yang lain.

Tapi Tuhan memperlihatkanku sesuatu yang berbeda.

Hari demi hari berlalu kemudian berganti menjadi bulan dan kita pun menjadi semakin akrab antara satu dengan yang lainnya. Beberapa minggu sudah mampu membuatku melihat bahwa dirimu adalah orang yang rajin, pandai, dan percaya diri. Aku tidak pernah lupa saat di awal-awal pertemanan kita aku sering menyapamu saat kamu lewat di depanku dan kamu hanya mengangguk memberi tanda bahwa kamu mendengarku. I found you unique already, at that time. Minggu berganti menjadi bulan.

Bulan demi bulan pun berlalu tanpa disadari. Kita saat itu suduh cukup dekat walaupun belum bisa dikategorikan sahabat, dan memang kita tidak pernah bersahabat hingga kita benar-benar berpisah. Aku sudah tidak pernah menjadi orang yang pertama untuk menyapamu saat kamu lewat, dan kamu pun tidak pernah lagi menganggukkan kepalamu sebagai responnya. Karena kita sudah bertukar posisi. Awalnya terasa aneh bagiku, tapi lama-kelamaan aku menjadi terbiasa dan bahkan menjadi sesuatu yang sangat aku rindukan hingga saat ini.

"Dela....."

Aku masih bisa mengingat suaramu saat menyebut namaku dan hal itu terdengar sangat indah di telingaku. Dari sekian banyak orang yang pernah menyebut namaku, tak ada yang seindah dan selembut suaramu. Tak ada yang mampu membuatku begitu senang hingga merindukan hari esok agar aku dapat bertemu dirimu lagi dan mendengarmu mengucapkan namaku lagi. Tak ada yang seindah itu hingga aku benar-benar masih dapat mengingat suaramu bahkan setelah bertahun-tahun aku tidak mendengarnya. Tak ada yang seindah itu hingga aku masih merindukan hal itu saat jemariku mengetik semua ini.

Saat itu aku pikir aku sudah jatuh cinta padamu. Tapi ternyata, sekali lagi, bukan itu. Aku baru menyadari bahwa semua itu bukan dari diriku, tapi dari dirimu sendiri. Aku pun selalu tersenyum setiap kali mengingat itu.

Selasa, 13 Juni 2017

Menghitung Hari-Hari Tanpamu

Sebuah catatan seminggu sebelum kepergianmu........

    Selagi aku menggoreskan kata-kata ini di atas kertas, sebelum diketik tentunya, suara lembut Ed Sheeran menggema pada earphone yang terpasang pada kedua lubang telingaku. Udara panas di kamarku digantikan dengan sejuknya hembusan udara air conditioner.

    Kesendirian ini membuatku semakin peka dengan hal-hal kecil di sekitarku. Dengan hal-hal kecil di kehidupanku. Juga mengingatkanku akan banyak momen, kenangan, serta membayangkan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Termasuk detik demi detik menuju hari yang aku harap tidak akan pernah datang, namun sangat engkau harapkan.

"Jadi nanti kamu pergi?"

Mungkin kamu tidak bisa merasakannya, namun aku tahu betapa lirih suaraku saat menanyakan pertanyaan yang tidak kuingin kudengar jawabannya. Lebih tepatnya, aku takut dengan jawaban yang akan kau berikan.

"Ya, begitulah..... ".

    Kamu menjawab dengan sangat santai, dan saat itu aku sadar bahwa aku benar-benar takut. Suaramu terdengar datar dan tidak begitu antusias tapi ada sesungging senyum di bibirmu yang menunjukkan bahwa itulah yang kamu harapkan. Kamu ingin pergi. Pergi mengejar cita-cita yang sangat kamu inginkan. Pergi merantau ke kota lain untuk mencoba kehidupan yang baru. Aku tidak bisa berkata apa-apa selain mengaminkan harapanmu itu dan ikut bahagia. Walaupun itu berarti aku harus melukai diriku sendiri (lagi) seperti yang sudah-sudah. Seperti yang umumnya dilakukan oleh seseorang yang jatuh cinta diam-diam dan ingin orang yang dicintai untuk bahagia, meskipun mereka tidak menjadi bagian dalam kebahagiaan itu.

Tiap malam aku hanya bisa menangis sembari merapalkan doa yang kebanyakan isinya hanya permohonan ampun kepada Tuhan. Aku memohon ampun atas keegoisanku karena seringkali hati kecilku berharap agar permohonanmu itu tidak terkabul. Sungguh egois. Maafkan aku.
Namun pada akhirnya, aku selalu tersadar bahwa disini hanya aku yang mencintaimu, kamu tidak. Sehingga aku tidak punya kuasa atasmu, aku tidak punya daya untuk menahanmu pergi. Aku hanya bisa merelakanmu. Merelakanmu pergi dan kemudian berusaha untuk mengangkat serta mengobati diriku sendiri. Aku harus berusaha (lagi) untuk mengosongkan diriku agar dapat terus melangkah tanpa beban, dan tetap dapat membuka hati seperti yang sudah-sudah.

Aku lelah. Lelah karena aku sudah pernah seperti ini; Jatuh hati, ditinggalkan, dan hanya bisa merelakan. 

Namun kali ini, aku tidak ingin bodoh (lagi) dalam merelakan kepergianmu. Aku boleh sakit hati, tapi tidak boleh membodohi diri. Aku tidak ingin hanya tinggal diam hingga hari itu tiba. Hari di mana aku harus mengatakan kata-kata yang aku harap tidak akan pernah akan keluar dari mulutku kepada orang yang aku cintai: "Sampai jumpa. Semoga sukses di sana.". Kali ini aku akan mempersiapkan diriku lebih awal,. Aku harus menguatkan diriku, aku tidak boleh membiarkan diriku lemah saat harus benar-benar berpisah denganmu. Mungkin aku akan tetap menangis, itu pasti. Tapi setidaknya aku nantinya akan lebih siap dalam setiap tangisku nanti.

Aku tidak akan menunggu sampai harinya tiba. Aku akan mulai belajar dari sekarang. Belajar menghitung hari. Menghitung hari-hari menjelang kepergiamu. Menghitung hari-hari tanpamu.






D, 7 Juni 2017

Kamis, 08 Juni 2017

Aku.

    Aku terkantuk-kantuk melihat layar laptop yang menampilkan file microsoft word berisikan tugas paper mata kuliah Pancasila. Sudah entah berapa kali aku tertidur sambil duduk, lalu bangun lagi karena tugas yang belum selesai.

    Selagi mengerjakan tugasku itu, aku menyempatkan diri untuk membuka akun blog milikku dan melihat-lihat kembali semua isi pikiranku yang aku tuangkan dalam bentuk kata-kata. Beberapa adalah puisi yang pernah aku buat saat masih SMP, beberapa lagi merupakan pengalaman hidup dan kisah yang aku ilhami dari kehidupan orang lain, dan sisanya, yang juga paling banyak, merupakan kisah cinta tentang orang-orang yang pernah datang ke dalam hidupku dan memenuhi isi pikiranku.

Termasuk kamu. Terkhususnya kamu.

    Entah kenapa melihat semua memori itu membuatku teringat betapa polosnya aku dulu, menuliskan semua isi pikiranku di dunia maya; dengan kalimat yang sangat rancu dan penempatan tanda baca yang tidak teratur; tanpa takut ada yang membaca dan akhirnya mengetahui semua rahasiaku. Sebenarnya aku ingin menyebut hal itu bodoh, namun kupikir saat itu aku memang masih di bawah umur dan wajar untuk sepolos itu dalam menggunakan internet. 

Bahkan untuk jatuh cinta pun sebenarnya masih terlalu polos. Tetapi kini, kamu mengingatkanku tentang mengapa aku tidak menyesal untuk jatuh cinta di umur yang begitu muda dan terus mempertahankan perasaan itu.

    Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Aku masih disini melihat, mengingat, dan mengenang semua yang masih bisa aku dapatkan. Aku berkontemplasi tentang perubahan-perubahan yang aku alami dan penyebabnya. Aku menilik diriku kembali tentang langkah-langkah yang harus aku ambil dan yang telah aku ambil untuk melakukan berbagai hal, apakah semua itu telah aku lakukan dengan benar atau tidak. 

Apakah mencintaimu seperti ini, dengan caraku ini, dengan apa yang aku punya saat ini. adalah benar atau tidak.

Aku harap yang satu ini tidak salah dan aku harap tidak salah untuk menceritakan sedikit bagian dari diriku.





Delaneira.

Rabu, 07 Juni 2017

Tuhan

Tuhan itu Maha Kuasa, bukan?
Tentu saja Ia Maha Kuasa. 
Tuhan itu 'serba' Maha.

Jika kita percaya bahwa Tuhan Maha Kuasa, berarti kita juga harus percaya bahwa Ia mampu melakukan segala sesuatu kepada ciptaan-Nya, termasuk manusia.

Sebagai bentuk kepercayaan kita bahwa Dia adalah Maha Kuasa, marilah kita memuliakan dan menyembah-Nya dengan semua yang ada pada kita.
Mari kita serahkan seluruh hidup kita beserta pernak-perniknya, baik itu yang buruk ataupun baik karena Tuhan itu Maha Kuasa, bukan? Berarti Ia sanggup mengatasi segalanya. Bahkan ada banyak hal yang Ia dapat lakukan hingga hal-hal yang tidak terlihat secara kasat mata kepada manusia.

Janganlah kita sebagai manusia, dengan segala ketidaksempurnaan yang kita miliki, menanggapi dengan pemikiran yang dangkal semua bentuk kekuasaan Tuhan yang tidak terlihat.

Jangan sampai kelemahan kita menjadi batu sandungan untuk diri kita sendiri sehingga kita menyangsikan kekuasaan-Nya yang tak kasat mata itu.


Makassar, 03 Juni 2017

Jumat, 24 Maret 2017

Warung Ibu Nur.

"Bu, roti cokelatnya berapa satu?" aku mengambil dua buah roti cokelat berukuran kecil dari rak pendek berwarna putih di sudut toko. 

"1000 satu nak....", jawab lembut seorang ibu paruh baya berkerudung di balik etalase kaca. 

"Saya mau wafer Nissin-nya juga bu....", aku menunjuk ke arah wafer merek Nissin di dalam etalase kaca

"Yang rasa apa nak?"

"Rasa cokelat bu....", kemudian Ibu itu segera menaruh wafer tersebut di atas etelase bersampingan dengan roti yang sudah aku ambil.

"Hmm.... Ibu, bisa saya minta waktunya sedikit?"

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kira-kira seperti itulah awal percakapanku dengan Ibu Nur Da'wah, pemilik sebuah toko kecil bernama Toko Nur. Percakapan singkat yang awalnya hanya didorong oleh keharusan untuk memenuhi tugas Pengantar Bisnis, berubah menjadi sebuah pengalaman kecil yang bermakna tentang bagaimana tulusnya hati seorang ibu Nur Da'wah, sang pemilik tokoh. Berawal dari pertanyaan formal dan singkat, ada pelajaran hidup yang dapat aku peroleh dari Ibu Nur, yang mungkin bagi orang lain biasa saja.

"Apakah Ibu tidak merasa sulit dalam bersaing dengan warung-warung lain yang sudah ada?"

"Tidak, nak. Saya sendiri bingung, sebenarnya mau bersaing seperti apa kalau kita membuka usaha. Kalaupun memang harus bersaing, kita bersaing sehat. Karena saya nak, buka warung ini tidak hanya untuk mendapat keuntungan, tapi juga mau membangun silaturahmi dengan tetangga sekitar dan mau menolong. Biasanya kita saling bertetangga tidak begitu kenal. Tapi dengan buka warung, tetangga yang datang ke warung kita akhirnya kita bisa kenal."

"Kalau yang soal 'menolong' bu, bagaimana?"

"Ya.. biasanya kan banyak warung yang tidak lagi mau menerima uang recehan 500 rupiah atau 100 rupiah. Saya masih menerima uang seperti itu, nak. Walaupun jumlahnya kecil, itu toh juga uang. Biasanya anak-anak kecil takut membeli karena uangnya uang recehan, mereka biasa bilangnya 'maaf bu, uangku cuma uang recehan'. Ya saya bilang 'tidak apa-apa, nak. Itu tetap uang kok.', begitu. Atau kadang-kadang ada orang yang hanya ingin menukar uang, tapi malu kalau tidak belanja. Saya tidak masalah kalau memang ada orang yang datang hanya untuk menukar uang, tidak harus belanja kalau datang ke sini. Kita saling membantu. Saling gotong-royong."

Aku benar-benar terpanah dengan jawaban Ibu Nur. Sangat jarang menemukan orang berhati malaikat seperti beliau. Waktu di handphoneku menunjukkan pukul setengah 10 malam. Tidak menyesal aku berjalan kaki ke sana dan memilih warung Ibu Nur sebagai objek tugasku. Melalui beliau, Tuhan mengajarkanku bagaimana seharusnya kita sebagai manusia bertindak antara satu dengan yang lain.

Aku pulang kembali ke rumah dengan senyum lebar di wajahku.

Selasa, 10 Januari 2017

Dia.

Mataku masih terbuka lebar. Jam di dinding menunjukkan pukul 9.30. Setengah jam lagi aku sudah harus menutup toko. Hujan deras tidak henti-hentinya turun dari langit. Sejak sore tadi, hujan terus turun dengan derasnya, hanya berhenti beberapa saat, kemudian turun lagi. Terkadang aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah hujan tidak merasa lelah turun dari langit tanpa henti? Apakah saat musim kemarau adalah saat di mana hujan lelah berlari?. Aku tahu itu pertanyaan bodoh. Pertanyaan itu bisa saja hanya dilontarkan oleh dua tipe manusia; anak kecil dan manusia yang sedang patah hati.


Mungkin.................... aku orang yang kedua. 



*********************************************************************************
Handphoneku tergenggam erat di tanganku yang kurus. Di bagian kanan atas layarnya tertulis '5%' yang sebenarnya adalah tanda darurat untuk segera dicharge. Aku sering heran dengan teman-temanku yang selalu panik sendiri saat daya handphone mereka harus segera diisi kembali, padahal di layarnya tertulis angka '50%'. Bagiku batterai segitu masih cukup banyak, sangat banyak malah. Aku tidak begitu peduli dengan fakta bahwa jika handphone sering tidak dicharge sampai dayanya habis akan cepat rusak. Entah apakah ini hanya soal prioritas atau kepribadian, namun bagiku daya sebanyak 5% masih sangat cukup untuk menunggunya.

Aku tidak begitu suka menunggu, Bahkan sebenarnya aku sangat benci menunggu. Namun entah kenapa, ketika berbicara soal dirinya, ataupun dengan dirinya, aku menjadi sangat sabar menunggu seolah-olah menunggu adalah kegiatan favoritku. Aku hanya akan mengisi ulang daya baterai hapeku saat dayanya sudah benar-benar kosong alias mati. Aku juga terkadang-sering-memakai hapeku sambil dicharge jika memang itu yang harus aku lakukan demi dirinya. Semua ini bukan hal baru. Sudah 7 bulan lebih aku melakukan rutinitas ini. Hanya demi dia yang sekarang sudah berubah. Hanya demi dia, yang seharusnya, bukan dia yang sekarang. Semua ini kulakukan sejak dia pertama kali mengganti merek telepon genggamnya dengan merek yang lebih ternama dan canggih.

Mungkin kedengarannya lucu, tapi begitulah memang faktanya. Dia benar-benar berubah setelah ia menggunakan telepon genggam baru yang lebih canggih. Tentu saja aku yakin dengan hal ini karena bukan hanya aku yang merasakan perubahannya, namun juga salah satu sahabat dekatnya yang bahkan tidak begitu sering bertemu dengannya. Rena sangat setuju bahwa perubahan drastis terjadi pada dirinya saat ia mulai menggunakan salah satu produk apel tersebut. Dia bukan lagi 'dia' yang dulu. Sering kali aku bertanya pada diriku sendiri, kepada angin, kepada awan, kepada matahari, bahkan kepada nyamuk yang sering menemaniku tiap malam menunggu balasan darinya, Kemana dia? Aku rindu dia yang dulu.

"Haha, dia yang lama sudah hilang ditelan bumi. Dia pasti sudah sibuk dengan kehidupan barunya. Dengan teman-teman barunya. Dia pasti sudah gaul, kan sudah jadi anak Jakarta... ".

Begitulah tanggapan Rena ketika aku menanyakan hal yang sama kepadanya. Jawabannya membuatku semakin sadar akan perubahan-perubahan drastis pada dirinya. Aku kembali membuka instagram dan melihat foto-foto di profilnya dan perubahan pada dirinya serta gaya hidupnya sangat terlihat serta dapat dirasakan hanya dengan melihat foto-foto itu . Namun dari semua foto yang ada, hanya satu foto yang benar-benar menunjukkan sisi perubahannya, foto yang tidak pernah kusangka akan ada di profilnya, foto yang mampu membuat hatiku serasa diremukkan. Aku sangat ingat bahwa dia tidak begitu suka berfoto dengan laki-laki, dia 'takut' dengan laki-laki. Tidak pernah kusangka bahwa dia akan befoto dengan begitu banyak teman lelakinya, dengan wajah tersenyum dan seperti tidak ada rasa canggung. Aku tau mereka pasti hanya teman, namun sebelumnya dia tidak pernah seperti itu bahkan dengan teman laki-laki yang sudah lama mengenalnya. Ketika aku mengutarakan semua isi hatiku tentang foto itu kepada Rena, Rena berpendapat sama dengan diriku. Dia sendiri kaget bahwa sahabanya yang sangat terkenal dengan kealiman dan keanggunannya, akan berubah seperti itu.
*********************************************************************************

Setelah menutup toko, aku bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit mengunjungi ayahku yang sedang sakit dan pulang untuk mengatur barang-barang jualan untuk besok. Namun dengan segala kesibukan yang ada, aku selalu menyempatkan diri untuk lewat di depan rumahnya saat pulang menuju ke rumahku. Aku hanya ingin sekedar melihat sesuatu yang berhubungan dengannya, walaupun mungkin melakukan hal itu tidak akan membantu kerinduanku yang semakin mendalam.


Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 01.30 saat aku baru keluar dari kamar mandi. Setelah berpakaian, aku segera membuang diriku ke tempat tidur dan siap untuk melabuhi malam di alam mimpi. Tentu saja ada satu hal yang tidak akan pernah aku lewatkan sebelum tidur: mengecek telepon genggam. Walaupun sudah beberapa minggu dia tidak membalas pesanku, dan aku pun tau bahwa tidak akan ada balasan darinya, namun aku masih berharap dan akan selalu berharap padanya. Ya, dirinya. Dia.

Minggu, 01 Januari 2017

Fatamorgana.

Read the 1st part: Singkat.

Senin, 29 November 2016

     Seminggu setelah pertemuan yang begitu singkat dengannya, aku masih tidak bisa melupakan kejadian itu. Saat pulang ke rumah, begitu banyak hal yang berkecamuk di dalam hati dan pikiranku. 
Dia hanya sendirian saat pergi menonton film. Aku berdua dengan kakakku. Mungkinkah dia mengira kakakku adalah pacarku? Pikiran berusaha keras mengingat apa saja yang aku lakukan dengan kakakku saat sedang menunggu di luar studio. Kami duduk bersebelahan, main handphone, bercerita. Itu saja. Menurutku, tidak ada hal yang dapat mengindikasikan aku dan kakakku terlihat seperti sepasang kekasih. Tapi tentu saja, pandangan tiap orang berbeda-beda dan dia mungkin berpikir bahwa aku dan kakakku adalah sepasang kekasih. Hal itu yang sebenarnya berkecamuk di dalam pikiranku sejak kami meninggalkan bioskop. Apakah aku masih menyimpan perasaan padanya? Pertanyaan itu sempat aku lontarkan berkali-kali pada malam sebelum aku tidur selama satu minggu ini. Namun aku menyadari bahwa aku tidak merasakan sesuatu yang spesial saat melihatnya. Hanya jantungku yang seketika berdegup semakin kencang karena kaget bahwa aku bisa menemuinya dan juga karena apa yang aku bayangkan dapat menjadi kenyataan. Hanya itu. Aku menyadari tidak ada perasaan lain yang aku rasakan saat itu yang membuatku merasa aku masih menyukainya. 

     Memori akan pertemuan singkat itu benar-benar membekas bagaikan fatamorgana untuk hatiku...
Aku selalu mengira bahwa aku masih menyukainya, padahal tidak. Semua itu hanyalah ilusi karena satu keinginan kuat yang pernah hadir di dalam diriku; mempertahankannya. Mempertahankannya sebagai seorang teman setelah apa yang terjadi kepada kami berdua. Hingga saat aku kembali melihatnya, banyak hal yang terbayang-bayang di benakku yang aku harap dapat dilepaskan dan disampaikan kepadanya; aku berharap aku bisa menyapanya saat aku melihatnya; aku berharap aku bisa menemaninya nonton, dengan duduk di sampingnya sebagai seorang teman; aku berharap dia menyapaku sebagai seorang teman yang telah lama tidak ia temui; aku berharap aku bisa membuatnya tau bahwa lelaki yang bersamaku hanyalah kakakku dan bukan pacarku. Harapan yang terakhir memang agak gila, tapi hal itu yang benar-benar memenuhi pikiranku. Hingga saat ini, aku masih membayangkan jika suatu saat nanti, ketika aku sudah mampu- dan diizinkan ibuku- pergi bioskop sendiri, kami akan bertemu kembali di bioskop dan mungkin bisa memperbaiki apa yang selama ini ditinggal rusak oleh kami berdua. 

     Namun sudahlah. Semua itu hanya harapan dan angan-angan yang sebenarnya tidak begitu aku inginkan terjadi. Aku hanya bisa berharap dan berdoa agar diberikan masa depan yang terbaik oleh Tuhan, dengan dia ataupun tanpa dirinya di dalam masa depanku. 

Untuk kamu, yang akan selalu aku ingat sampai kapanpun. xx
D.