Selasa, 13 Juni 2017

Menghitung Hari-Hari Tanpamu

Sebuah catatan seminggu sebelum kepergianmu........

    Selagi aku menggoreskan kata-kata ini di atas kertas, sebelum diketik tentunya, suara lembut Ed Sheeran menggema pada earphone yang terpasang pada kedua lubang telingaku. Udara panas di kamarku digantikan dengan sejuknya hembusan udara air conditioner.

    Kesendirian ini membuatku semakin peka dengan hal-hal kecil di sekitarku. Dengan hal-hal kecil di kehidupanku. Juga mengingatkanku akan banyak momen, kenangan, serta membayangkan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Termasuk detik demi detik menuju hari yang aku harap tidak akan pernah datang, namun sangat engkau harapkan.

"Jadi nanti kamu pergi?"

Mungkin kamu tidak bisa merasakannya, namun aku tahu betapa lirih suaraku saat menanyakan pertanyaan yang tidak kuingin kudengar jawabannya. Lebih tepatnya, aku takut dengan jawaban yang akan kau berikan.

"Ya, begitulah..... ".

    Kamu menjawab dengan sangat santai, dan saat itu aku sadar bahwa aku benar-benar takut. Suaramu terdengar datar dan tidak begitu antusias tapi ada sesungging senyum di bibirmu yang menunjukkan bahwa itulah yang kamu harapkan. Kamu ingin pergi. Pergi mengejar cita-cita yang sangat kamu inginkan. Pergi merantau ke kota lain untuk mencoba kehidupan yang baru. Aku tidak bisa berkata apa-apa selain mengaminkan harapanmu itu dan ikut bahagia. Walaupun itu berarti aku harus melukai diriku sendiri (lagi) seperti yang sudah-sudah. Seperti yang umumnya dilakukan oleh seseorang yang jatuh cinta diam-diam dan ingin orang yang dicintai untuk bahagia, meskipun mereka tidak menjadi bagian dalam kebahagiaan itu.

Tiap malam aku hanya bisa menangis sembari merapalkan doa yang kebanyakan isinya hanya permohonan ampun kepada Tuhan. Aku memohon ampun atas keegoisanku karena seringkali hati kecilku berharap agar permohonanmu itu tidak terkabul. Sungguh egois. Maafkan aku.
Namun pada akhirnya, aku selalu tersadar bahwa disini hanya aku yang mencintaimu, kamu tidak. Sehingga aku tidak punya kuasa atasmu, aku tidak punya daya untuk menahanmu pergi. Aku hanya bisa merelakanmu. Merelakanmu pergi dan kemudian berusaha untuk mengangkat serta mengobati diriku sendiri. Aku harus berusaha (lagi) untuk mengosongkan diriku agar dapat terus melangkah tanpa beban, dan tetap dapat membuka hati seperti yang sudah-sudah.

Aku lelah. Lelah karena aku sudah pernah seperti ini; Jatuh hati, ditinggalkan, dan hanya bisa merelakan. 

Namun kali ini, aku tidak ingin bodoh (lagi) dalam merelakan kepergianmu. Aku boleh sakit hati, tapi tidak boleh membodohi diri. Aku tidak ingin hanya tinggal diam hingga hari itu tiba. Hari di mana aku harus mengatakan kata-kata yang aku harap tidak akan pernah akan keluar dari mulutku kepada orang yang aku cintai: "Sampai jumpa. Semoga sukses di sana.". Kali ini aku akan mempersiapkan diriku lebih awal,. Aku harus menguatkan diriku, aku tidak boleh membiarkan diriku lemah saat harus benar-benar berpisah denganmu. Mungkin aku akan tetap menangis, itu pasti. Tapi setidaknya aku nantinya akan lebih siap dalam setiap tangisku nanti.

Aku tidak akan menunggu sampai harinya tiba. Aku akan mulai belajar dari sekarang. Belajar menghitung hari. Menghitung hari-hari menjelang kepergiamu. Menghitung hari-hari tanpamu.






D, 7 Juni 2017

Kamis, 08 Juni 2017

Aku.

    Aku terkantuk-kantuk melihat layar laptop yang menampilkan file microsoft word berisikan tugas paper mata kuliah Pancasila. Sudah entah berapa kali aku tertidur sambil duduk, lalu bangun lagi karena tugas yang belum selesai.

    Selagi mengerjakan tugasku itu, aku menyempatkan diri untuk membuka akun blog milikku dan melihat-lihat kembali semua isi pikiranku yang aku tuangkan dalam bentuk kata-kata. Beberapa adalah puisi yang pernah aku buat saat masih SMP, beberapa lagi merupakan pengalaman hidup dan kisah yang aku ilhami dari kehidupan orang lain, dan sisanya, yang juga paling banyak, merupakan kisah cinta tentang orang-orang yang pernah datang ke dalam hidupku dan memenuhi isi pikiranku.

Termasuk kamu. Terkhususnya kamu.

    Entah kenapa melihat semua memori itu membuatku teringat betapa polosnya aku dulu, menuliskan semua isi pikiranku di dunia maya; dengan kalimat yang sangat rancu dan penempatan tanda baca yang tidak teratur; tanpa takut ada yang membaca dan akhirnya mengetahui semua rahasiaku. Sebenarnya aku ingin menyebut hal itu bodoh, namun kupikir saat itu aku memang masih di bawah umur dan wajar untuk sepolos itu dalam menggunakan internet. 

Bahkan untuk jatuh cinta pun sebenarnya masih terlalu polos. Tetapi kini, kamu mengingatkanku tentang mengapa aku tidak menyesal untuk jatuh cinta di umur yang begitu muda dan terus mempertahankan perasaan itu.

    Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Aku masih disini melihat, mengingat, dan mengenang semua yang masih bisa aku dapatkan. Aku berkontemplasi tentang perubahan-perubahan yang aku alami dan penyebabnya. Aku menilik diriku kembali tentang langkah-langkah yang harus aku ambil dan yang telah aku ambil untuk melakukan berbagai hal, apakah semua itu telah aku lakukan dengan benar atau tidak. 

Apakah mencintaimu seperti ini, dengan caraku ini, dengan apa yang aku punya saat ini. adalah benar atau tidak.

Aku harap yang satu ini tidak salah dan aku harap tidak salah untuk menceritakan sedikit bagian dari diriku.





Delaneira.

Rabu, 07 Juni 2017

Tuhan

Tuhan itu Maha Kuasa, bukan?
Tentu saja Ia Maha Kuasa. 
Tuhan itu 'serba' Maha.

Jika kita percaya bahwa Tuhan Maha Kuasa, berarti kita juga harus percaya bahwa Ia mampu melakukan segala sesuatu kepada ciptaan-Nya, termasuk manusia.

Sebagai bentuk kepercayaan kita bahwa Dia adalah Maha Kuasa, marilah kita memuliakan dan menyembah-Nya dengan semua yang ada pada kita.
Mari kita serahkan seluruh hidup kita beserta pernak-perniknya, baik itu yang buruk ataupun baik karena Tuhan itu Maha Kuasa, bukan? Berarti Ia sanggup mengatasi segalanya. Bahkan ada banyak hal yang Ia dapat lakukan hingga hal-hal yang tidak terlihat secara kasat mata kepada manusia.

Janganlah kita sebagai manusia, dengan segala ketidaksempurnaan yang kita miliki, menanggapi dengan pemikiran yang dangkal semua bentuk kekuasaan Tuhan yang tidak terlihat.

Jangan sampai kelemahan kita menjadi batu sandungan untuk diri kita sendiri sehingga kita menyangsikan kekuasaan-Nya yang tak kasat mata itu.


Makassar, 03 Juni 2017