Jumat, 24 Maret 2017

Warung Ibu Nur.

"Bu, roti cokelatnya berapa satu?" aku mengambil dua buah roti cokelat berukuran kecil dari rak pendek berwarna putih di sudut toko. 

"1000 satu nak....", jawab lembut seorang ibu paruh baya berkerudung di balik etalase kaca. 

"Saya mau wafer Nissin-nya juga bu....", aku menunjuk ke arah wafer merek Nissin di dalam etalase kaca

"Yang rasa apa nak?"

"Rasa cokelat bu....", kemudian Ibu itu segera menaruh wafer tersebut di atas etelase bersampingan dengan roti yang sudah aku ambil.

"Hmm.... Ibu, bisa saya minta waktunya sedikit?"

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kira-kira seperti itulah awal percakapanku dengan Ibu Nur Da'wah, pemilik sebuah toko kecil bernama Toko Nur. Percakapan singkat yang awalnya hanya didorong oleh keharusan untuk memenuhi tugas Pengantar Bisnis, berubah menjadi sebuah pengalaman kecil yang bermakna tentang bagaimana tulusnya hati seorang ibu Nur Da'wah, sang pemilik tokoh. Berawal dari pertanyaan formal dan singkat, ada pelajaran hidup yang dapat aku peroleh dari Ibu Nur, yang mungkin bagi orang lain biasa saja.

"Apakah Ibu tidak merasa sulit dalam bersaing dengan warung-warung lain yang sudah ada?"

"Tidak, nak. Saya sendiri bingung, sebenarnya mau bersaing seperti apa kalau kita membuka usaha. Kalaupun memang harus bersaing, kita bersaing sehat. Karena saya nak, buka warung ini tidak hanya untuk mendapat keuntungan, tapi juga mau membangun silaturahmi dengan tetangga sekitar dan mau menolong. Biasanya kita saling bertetangga tidak begitu kenal. Tapi dengan buka warung, tetangga yang datang ke warung kita akhirnya kita bisa kenal."

"Kalau yang soal 'menolong' bu, bagaimana?"

"Ya.. biasanya kan banyak warung yang tidak lagi mau menerima uang recehan 500 rupiah atau 100 rupiah. Saya masih menerima uang seperti itu, nak. Walaupun jumlahnya kecil, itu toh juga uang. Biasanya anak-anak kecil takut membeli karena uangnya uang recehan, mereka biasa bilangnya 'maaf bu, uangku cuma uang recehan'. Ya saya bilang 'tidak apa-apa, nak. Itu tetap uang kok.', begitu. Atau kadang-kadang ada orang yang hanya ingin menukar uang, tapi malu kalau tidak belanja. Saya tidak masalah kalau memang ada orang yang datang hanya untuk menukar uang, tidak harus belanja kalau datang ke sini. Kita saling membantu. Saling gotong-royong."

Aku benar-benar terpanah dengan jawaban Ibu Nur. Sangat jarang menemukan orang berhati malaikat seperti beliau. Waktu di handphoneku menunjukkan pukul setengah 10 malam. Tidak menyesal aku berjalan kaki ke sana dan memilih warung Ibu Nur sebagai objek tugasku. Melalui beliau, Tuhan mengajarkanku bagaimana seharusnya kita sebagai manusia bertindak antara satu dengan yang lain.

Aku pulang kembali ke rumah dengan senyum lebar di wajahku.