Rabu, 23 Agustus 2017

Surat Kepada Masa Lalu (I)

Untukmu, kawanku di masa lalu.


Pikiranku bertanya-tanya, apa kabarmu saat ini?

Aku harap engkau baik-baik saja dan selalu berada dalam lindungan-Nya.
Walaupun kita sudah sangat lama tak saling berinteraksi, bahkan sejak kita masih di sekolah yang sama, aku selalu saja ingin tau keberadaanmu, kesibukanmu, dan semua tentangmu.

Semua ini bukan lagi tentang perasaan yang pernah kupendam padamu. Yang itu sudah berakhir.
Semua ini hanya tentang keunikan dirimu yang apa adanya, yang baru aku sadari sekarang dan aku merindukan hal itu.

Sebelum bertemu denganmu, aku tidak pernah bisa menjadi diriku sendiri ketika aku sedang bersama teman-temanku atau bahkan dengan orang-orang yang kusebut sahabat. Aku mengurung diriku sendiri dan menjadi orang lain ketika aku harus bergaul di dunia luar. Aku tidak pernah yakin untuk benar-benar menunjukkan emosiku saat aku sedang sedih, kecewa, ataupun bahagia. Mereka akan menganggap aku aneh dan tidak akan tahan denganku jika aku menunjukkan semua emosiku secara gamblang. Aku hanya bisa menahan diri dan menerima apa adanya dunia kelam di sekitarku. Aku pikir semua orang akan seperti itu hingga akhirnya aku terbiasa.

Hingga akhirnya, Tuhan mempertemukan kita.

Saat itu kita masih bisa terbilang kanak-kanak. Masih egois. Masih labil. Belum punya pendirian sama sekali. Yang kita pikirkan hanyalah belajar dan bermain. Belum mampu untuk mengerti apa yang dirasakan orang lain.

Aku pikir kamu akan berakhir menjadi sama dengan orang-orang yang sudah kutemui sebelumnya. Aku bahkan, saat itu, sudah sangat yakin bahwa dirimu juga pasti seperti itu. Aku pun bertindak seperti biasanya. "Walaupun baru kenal, ujung-ujungnya pasti dia sama dengan yang lain. Apalagi laki-laki...", benakku saat guru bahasa Inggris menyuruh kita memperkenalkan diri kita satu per satu di depan kelas. Aku, saat itu, sudah terbiasa berteman dengan banyak laki-laki yang sifatnya sangat cuek dan terkesan brengsek karena tidak ingin berusaha untuk mengerti orang lain. Mereka hanya bisa mengejek kekurangan orang lain kemudian menganggap bahwa orang yang diejek akan tetap baik-baik saja karena niat  mereka hanya ingin bercanda. B E R C A N D A. Akupun berpikir kamu suatu saat nanti akan melakukan hal yang sama kepadaku, kepada teman-teman yang lain.

Tapi Tuhan memperlihatkanku sesuatu yang berbeda.

Hari demi hari berlalu kemudian berganti menjadi bulan dan kita pun menjadi semakin akrab antara satu dengan yang lainnya. Beberapa minggu sudah mampu membuatku melihat bahwa dirimu adalah orang yang rajin, pandai, dan percaya diri. Aku tidak pernah lupa saat di awal-awal pertemanan kita aku sering menyapamu saat kamu lewat di depanku dan kamu hanya mengangguk memberi tanda bahwa kamu mendengarku. I found you unique already, at that time. Minggu berganti menjadi bulan.

Bulan demi bulan pun berlalu tanpa disadari. Kita saat itu suduh cukup dekat walaupun belum bisa dikategorikan sahabat, dan memang kita tidak pernah bersahabat hingga kita benar-benar berpisah. Aku sudah tidak pernah menjadi orang yang pertama untuk menyapamu saat kamu lewat, dan kamu pun tidak pernah lagi menganggukkan kepalamu sebagai responnya. Karena kita sudah bertukar posisi. Awalnya terasa aneh bagiku, tapi lama-kelamaan aku menjadi terbiasa dan bahkan menjadi sesuatu yang sangat aku rindukan hingga saat ini.

"Dela....."

Aku masih bisa mengingat suaramu saat menyebut namaku dan hal itu terdengar sangat indah di telingaku. Dari sekian banyak orang yang pernah menyebut namaku, tak ada yang seindah dan selembut suaramu. Tak ada yang mampu membuatku begitu senang hingga merindukan hari esok agar aku dapat bertemu dirimu lagi dan mendengarmu mengucapkan namaku lagi. Tak ada yang seindah itu hingga aku benar-benar masih dapat mengingat suaramu bahkan setelah bertahun-tahun aku tidak mendengarnya. Tak ada yang seindah itu hingga aku masih merindukan hal itu saat jemariku mengetik semua ini.

Saat itu aku pikir aku sudah jatuh cinta padamu. Tapi ternyata, sekali lagi, bukan itu. Aku baru menyadari bahwa semua itu bukan dari diriku, tapi dari dirimu sendiri. Aku pun selalu tersenyum setiap kali mengingat itu.